Rabu, 26 April 2017

MANTILLA

Agnes Evanty Manurung, seorang umat Paroki Kristus Raja Medan, sudah sejak kecil senang menudungi kepalanya dengan kain biasa karena ingin seperti Bunda Maria yang begitu anggun dengan tudung di kepalanya. Ketika masih kelas 6 SD, ia menemukan teks Kitab Suci yang mengatakan, “Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” (1Kor 11: 13). Niat untuk menudungi kepala pun semakin kuat, akan tetapi belum berani menggunakannya ketika pergi ke gereja. Ia hanya berani menggunakan tudung kepala dengan sembunyi-bunyi ketika berdoa pribadi dan Angelus di dalam kamar. Hingga pada suatu saat, ketika berdoa di depan tabernakel, ia merasa kepalanya ditudungi. Ia pun mulai mencari-cari informasi tentang tudung kepala dan ternyata ia menemukan nama “Mantilla” yang sudah ada sejak lama dalam tradisi Gereja Katolik. Ia pun mencari Mantilla tapi tidak ditemukan di Indonesia. Hanya ada di USA. Di tengah pencarian yang panjang, ia mengetahui lewat Facebook bahwa ada yang menjual Mantilla. Ia pun segera membeli, memiliki dan mulai menggunakannya ke gereja.  
Caroline Francesca Farianne, juga seorang umat Paroki Kristus Raja Medan, yang sudah sejak kecil dididik untuk berpakaian sopan ketika pergi ke gereja. Baginya, Mantilla itu cantik dan indah dan karena itu, sejak Juli 2016 yang lalu ia mulai menggunakan Mantilla. Ia sangat merasakan manfaatnya yakni menjadi rajin merayakan Ekaristi, bahkan setiap hari merayakan Ekaristi. Setiap kali menggunakan Mantilla, ia merasa lebih khusuk dan hikmat dalam berdoa dan berekaristi. Di samping itu, ia juga merasa menjadi santun dalam berpakaian dan membuat dirinya menjadi pribadi yang tidak hanya mengurusi kecantikan, melainkan mengutamakan kesederhanaan, ketekunan dan kerendahan hati.
Agnes Evanty Manurung dan Caroline Francesca Farianne adalah dua orang perempuan yang berpenampilan ganjil ketika ikut merayakan Ekaristi. Mereka menggunakan Mantilla, sementara yang lain tidak. “Apakah mereka mau gaya-gaya saja? Apakah mereka seorang biarawati? Apakah yang mereka gunakan adalah jilbab? Apakah mereka mau tampil sok saleh?” Kedua orang ini menginspirasi saya untuk mendalami, memahami dan menuliskan sesuatu tentang Mantilla ini.
Mantilla adalah tudung atau kerudung yang biasa dipakai oleh perempuan Katolik untuk  menutupi kepala ketika mengikuti Perayaan Ekaristi, Adorasi, atau perayaan liturgi lainnya. Mantilla biasa terbuat dari bahan lace, sejenis brokat atau kain berenda. Akan tetapi, kadang-kadang umat hanya menggunakan syal atau scarf, bandana besar, atau kain biasa untuk menutupi kepalanya.
Tradisi menggunakan Mantilla bagi seorang perempuan ketika Perayaan Ekaristi, Adorasi dan atau perayaan liturgi lainnya sudah berlangsung sejak lama. Dasar biblis yang sering digunakan sebagai dasar tradisi tersebut diambil dari surat-surat Paulus.
1.      “…. Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah ….” (1Tim 2:8-15).
2.      “…Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. … Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. …  Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? …” (1Kor 11:2-16).
1Tim 2:8-15 berbicara mengenai nasihat terhadap kelompok keluarga, terutama para suami dan istri. Nasihat seperti ini merupakan hal yang lazim dalam ajaran moral Kristen (lih. Ef 5:21-33). Para suami hendaknya menadahkan tangannya yang suci untuk berdoa. Bagitu juga, para istri dinasihati supaya muncul dalam pertemuan-pertemuan bukannya dengan mengenakan kemewahan dan pakaian yang indah melainkan mengenakan “pekerjaan-pekerjaan baik” (lih. 1Ptr 3:1-6).
1Kor 11:2-16 berbicara tentang pakaian liturgis. Surat ini dilatarbelakangi oleh munculnya pertikaian di antara umat di Korintus tentang pakaian dalam upacara liturgi. Rasul Paulus mengkritik pertengkaran itu dengan nasihat yang mendasarkan pada budaya setempat, yaitu kebiasaan menggunakan tudung bagi perempuan. Ia mengajarkan bahwa dalam hal berdoa, dalam upacara liturgi, hendaknya berpakaian sesuai dengan budaya yang baik, yang berlaku pada masa itu, di mana perempuan hendaknya menggunakan tudung kepala sebagai tanda ketaatan kepada Sang Kepala yakni Kristus. Budaya pemakaian tudung bagi perempuan pada masa itu juga merupakan simbol ketaatan kepada suami atau dan ayah, sebagai kepala keluarga. “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3).
Berdasarkan surat Paulus tersebut, pemakaian Mantilla pernah diwajibkan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1917. Pada Kan. 1262, § 2, dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan-keadaan khusus yang menentukan sebaliknya; dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan. Namun, dalam semangat pembaharuan, Gereja tidak lagi mewajibkan pemakaian Mantilla dan juga tidak melarangnya, sehingga masih ada beberapa umat di beberapa tempat, seperti di kawasan Amerika Latin, Eropa dan Asia yang masih mempertahankan tradisi pemakaian Mantilla.
Pasca Konsili Vatikan II, Magisterium Gereja Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Ajaran Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober 1976, menyatakan bahwa tradisi pemakaian kerudung bagi perempuan dalam upacara liturgi tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian, “Another objection is based upon the transitory character that one claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance, such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative value….”
Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 pun tidak lagi menyatakan kembali isi Kan. 1262, § 2, KHK 1917. Oleh karena itu kanon tersebut tidak berlaku lagi. Kan. 6, § 1, KHK 1983 menyatakan bahwa “Dengan berlakunya Kitab Hukum ini dihapuslah seluruhnya Kitab Hukum Kanonik yang diundangkan pada tahun 1917”.
Pertanyaan yang tentu muncul dalam benak kita adalah “Mengapa tradisi ini tidak lagi dilaksanakan?” Ada beberapa alasan yang bisa diketengahkan:
1.      Maksud Paulus
      Benar bahwa Paulus mengatakan bahwa, “Hendaklah ia (perempuan) berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal” (1Tim 2:9), akan tetapi Paulus juga tidak menekankan dengan eksplisit bahwa perempuan harus berpakaian ini atau itu. Paulus justru melanjutkan dengan perkataan, “Tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah” (1Tim 2:10). Paulus menekankan perbuatan-perbuatan atau pekerjaan-pekerjaan baik yang layak bagi perempuan. Demikian juga halnya dengan Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, 1Kor 11:2-16, Paulus justru menekankan budaya setempat. Artinya, pakaian liturgi umat (perempuan) disesuaikan dengan budaya setempat.
2.      Hilangnya Makna Tanda
      Mantilla adalah sebuah tanda. Dan tanda pasti memiliki makna. Ketika orang-orang tidak lagi mengerti makna sebuah tanda, maka tanda tersebut pasti tidak akan digunakan lagi. Umat Katolik masa kini tidak lagi mengerti akan arti atau makna penggunaan Mantilla.      
3.      Konflik Arti
      Kata-kata Paulus, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3) sering disalahartikan sebagai ketundukan semena-mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita kepada semua pria. Muncul kesan yang salah yakni bahwa martabat laki-laki lebih tinggi dari pada martabat perempuan. Pada hal, saat mengatakan hal tersebut, Rasul Paulus tidak bermaksud merendahkan martabat perempuan, sebab para perempuan mempunyai persamaan hak dengan kaum laki-laki dan sama-sama dipanggil untuk hidup kudus. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala, dan melalui Kristus kepada Allah. Dasar ini ditegaskan kembali pada 1Kor 11: 11-12, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah”. Ini sesuai dengan yang diajarkannya juga dalam Gal 3:28. Jadi yang disampaikannya di sini adalah adanya urutan / struktur kebersamaan yang mengarahkan semua orang untuk dibangun ke arah persatuan dengan Kristus.
Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik maupun moral bagi para perempuan untuk mengenakan tutup kepala (Mantilla) di gereja, para perempuan tetap bebas untuk menggunakannya sebagai ungkapan devosi pribadi. Mereka harus melihatnya sebagai tanda ketaatan / tunduk kepada Tuhan. Mereka yang mengenakan Mantilla dan mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi membiarkan setiap perempuan untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak menjadi kewajiban. Memakai Mantilla bukanlah suatu hal yang main-main, karena memakai Mantilla merupakan salah satu bentuk devosi atau sikap bakti kepada Tuhan yang membutuhkan komitmen.
Berpakaian rapi dan sopan sesuai keadaan (yakni pada saat berada dalam gereja; saat merayakan Ekaristi; Adorasi dan perayaan liturgi lainnya) adalah kewajiban moral bagi semua umat. Dan ini tidak pernah boleh diabaikan. Meskipun kesopanan dalam hal berpakaian akan dapat berubah dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesopanan / kebersahajaan berkaitan dengan empat hal tingkah laku:
1.      Pergerakan pikiran menuju kesempurnaan, dan hal ini diatur oleh kerendahan hati.
2.      Keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengatahui benda-benda yang berkaitan dengan pengetahuan, dan tidak hanya asal ingin tahun saja.
3.      Pergerakan badan dan tingkah laku, yang dilakukan dengan semestinya dan dengan sejujurnya.
4.      Penampilan luar, misalnya dalam berpakaian dan sejenisnya.

Cara berpakaian, tingkah laku dan seterusnya adalah tanda dari seseorang, dan ini dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang tersebut tinggal. Kristianitas dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal-hal tertentu, kecuali jika itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain). Kesopanan / kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar