Agnes Evanty Manurung,
seorang umat Paroki Kristus Raja Medan, sudah sejak kecil senang menudungi
kepalanya dengan kain biasa karena ingin seperti Bunda Maria yang begitu anggun
dengan tudung di kepalanya. Ketika masih kelas 6 SD, ia menemukan teks Kitab
Suci yang mengatakan, “Pertimbangkanlah
sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak
bertudung?” (1Kor 11: 13). Niat untuk menudungi kepala pun semakin kuat,
akan tetapi belum berani menggunakannya ketika pergi ke gereja. Ia hanya berani
menggunakan tudung kepala dengan sembunyi-bunyi ketika berdoa pribadi dan
Angelus di dalam kamar. Hingga pada suatu saat, ketika berdoa di depan
tabernakel, ia merasa kepalanya ditudungi. Ia pun mulai mencari-cari informasi
tentang tudung kepala dan ternyata ia menemukan nama “Mantilla” yang sudah ada sejak
lama dalam tradisi Gereja Katolik. Ia pun mencari Mantilla tapi tidak ditemukan
di Indonesia. Hanya ada di USA. Di tengah pencarian yang panjang, ia mengetahui
lewat Facebook bahwa ada yang menjual
Mantilla. Ia pun segera membeli, memiliki dan mulai menggunakannya ke gereja.
Caroline Francesca
Farianne, juga seorang umat Paroki Kristus Raja Medan, yang sudah sejak kecil
dididik untuk berpakaian sopan ketika pergi ke gereja. Baginya, Mantilla itu
cantik dan indah dan karena itu, sejak Juli 2016 yang lalu ia mulai menggunakan
Mantilla. Ia sangat merasakan manfaatnya yakni menjadi rajin merayakan
Ekaristi, bahkan setiap hari merayakan Ekaristi. Setiap kali menggunakan
Mantilla, ia merasa lebih khusuk dan hikmat dalam berdoa dan berekaristi. Di
samping itu, ia juga merasa menjadi santun dalam berpakaian dan membuat dirinya
menjadi pribadi yang tidak hanya mengurusi kecantikan, melainkan mengutamakan kesederhanaan,
ketekunan dan kerendahan hati.
Agnes Evanty Manurung
dan Caroline Francesca Farianne adalah dua orang perempuan yang berpenampilan
ganjil ketika ikut merayakan Ekaristi. Mereka menggunakan Mantilla, sementara
yang lain tidak. “Apakah mereka mau gaya-gaya saja? Apakah mereka seorang
biarawati? Apakah yang mereka gunakan adalah jilbab? Apakah mereka mau tampil sok saleh?” Kedua orang ini
menginspirasi saya untuk mendalami, memahami dan menuliskan sesuatu tentang
Mantilla ini.
Mantilla adalah tudung
atau kerudung yang biasa dipakai oleh perempuan Katolik untuk menutupi kepala ketika mengikuti Perayaan
Ekaristi, Adorasi, atau perayaan liturgi lainnya. Mantilla biasa terbuat dari
bahan lace, sejenis brokat atau kain berenda. Akan tetapi, kadang-kadang umat
hanya menggunakan syal atau scarf, bandana besar, atau kain biasa untuk
menutupi kepalanya.
Tradisi menggunakan
Mantilla bagi seorang perempuan ketika Perayaan Ekaristi, Adorasi dan atau
perayaan liturgi lainnya sudah berlangsung sejak lama. Dasar biblis yang sering
digunakan sebagai dasar tradisi tersebut diambil dari surat-surat Paulus.
1.
“…. Demikian
juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan
dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau
mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan
perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah ….” (1Tim
2:8-15).
2.
“…Tiap-tiap
laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina
kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala
yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang
dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka
haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah
penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi
kepalanya. … Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh
karena para malaikat. … Pertimbangkanlah
sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak
bertudung? …” (1Kor 11:2-16).
1Tim 2:8-15 berbicara
mengenai nasihat terhadap kelompok keluarga, terutama para suami dan istri.
Nasihat seperti ini merupakan hal yang lazim dalam ajaran moral Kristen (lih. Ef 5:21-33). Para suami hendaknya
menadahkan tangannya yang suci untuk berdoa. Bagitu juga, para istri dinasihati
supaya muncul dalam pertemuan-pertemuan bukannya dengan mengenakan kemewahan
dan pakaian yang indah melainkan mengenakan “pekerjaan-pekerjaan baik” (lih.
1Ptr 3:1-6).
1Kor 11:2-16 berbicara
tentang pakaian liturgis. Surat ini dilatarbelakangi oleh munculnya pertikaian
di antara umat di Korintus tentang pakaian dalam upacara liturgi. Rasul Paulus
mengkritik pertengkaran itu dengan nasihat yang mendasarkan pada budaya setempat, yaitu kebiasaan
menggunakan tudung bagi perempuan. Ia mengajarkan bahwa dalam hal berdoa, dalam
upacara liturgi, hendaknya berpakaian sesuai dengan budaya yang baik, yang
berlaku pada masa itu, di mana perempuan hendaknya menggunakan tudung kepala
sebagai tanda ketaatan kepada Sang
Kepala yakni Kristus. Budaya pemakaian tudung bagi perempuan pada masa itu juga
merupakan simbol ketaatan kepada suami atau dan ayah, sebagai kepala keluarga.
“Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal
ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan
ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3).
Berdasarkan surat
Paulus tersebut, pemakaian Mantilla pernah diwajibkan dalam Kitab Hukum Kanonik
(KHK) 1917. Pada Kan. 1262, § 2, dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu
memakai tutup kepala, kecuali keadaan-keadaan khusus yang menentukan
sebaliknya; dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan,
terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan. Namun, dalam semangat
pembaharuan, Gereja tidak lagi mewajibkan pemakaian Mantilla dan juga tidak
melarangnya, sehingga masih ada beberapa umat di beberapa tempat, seperti di
kawasan Amerika Latin, Eropa dan Asia yang masih mempertahankan tradisi pemakaian
Mantilla.
Pasca Konsili Vatikan II, Magisterium Gereja
Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Ajaran Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober
1976, menyatakan bahwa tradisi pemakaian kerudung bagi perempuan dalam upacara liturgi
tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian, “Another
objection is based upon the transitory character that one claims to see today
in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the
difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it
must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the
period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance,
such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head
(1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative
value….”
Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 pun tidak lagi menyatakan kembali isi Kan.
1262, § 2, KHK 1917. Oleh karena itu kanon tersebut tidak berlaku lagi. Kan. 6,
§ 1, KHK 1983 menyatakan bahwa “Dengan berlakunya Kitab Hukum ini dihapuslah
seluruhnya Kitab Hukum Kanonik yang diundangkan pada tahun 1917”.
Pertanyaan yang tentu
muncul dalam benak kita adalah “Mengapa tradisi ini tidak lagi dilaksanakan?” Ada
beberapa alasan yang bisa diketengahkan:
1.
Maksud Paulus
Benar bahwa Paulus mengatakan bahwa, “Hendaklah ia (perempuan) berdandan dengan pantas, dengan sopan dan
sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara
ataupun pakaian yang mahal-mahal” (1Tim 2:9), akan tetapi Paulus juga tidak
menekankan dengan eksplisit bahwa perempuan harus berpakaian ini atau itu.
Paulus justru melanjutkan dengan perkataan,
“Tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan
yang beribadah” (1Tim 2:10). Paulus menekankan perbuatan-perbuatan atau
pekerjaan-pekerjaan baik yang layak bagi perempuan. Demikian juga halnya dengan
Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, 1Kor 11:2-16, Paulus justru
menekankan budaya setempat. Artinya, pakaian liturgi umat (perempuan)
disesuaikan dengan budaya setempat.
2.
Hilangnya Makna Tanda
Mantilla adalah sebuah tanda. Dan tanda
pasti memiliki makna. Ketika orang-orang tidak lagi mengerti makna sebuah
tanda, maka tanda tersebut pasti tidak akan digunakan lagi. Umat Katolik masa
kini tidak lagi mengerti akan arti atau makna penggunaan Mantilla.
3.
Konflik Arti
Kata-kata Paulus, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari
tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan
Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3) sering disalahartikan sebagai
ketundukan semena-mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita
kepada semua pria. Muncul kesan yang salah yakni bahwa martabat laki-laki lebih
tinggi dari pada martabat perempuan. Pada hal, saat mengatakan hal tersebut,
Rasul Paulus tidak bermaksud merendahkan martabat perempuan, sebab para
perempuan mempunyai persamaan hak dengan kaum laki-laki dan sama-sama dipanggil
untuk hidup kudus. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dipanggil untuk
taat kepada Kristus, Sang Kepala, dan melalui Kristus kepada Allah. Dasar ini
ditegaskan kembali pada 1Kor 11: 11-12, “Namun
demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada
laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki,
demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal
dari Allah”. Ini sesuai dengan yang diajarkannya juga dalam Gal 3:28. Jadi
yang disampaikannya di sini adalah adanya urutan / struktur kebersamaan yang
mengarahkan semua orang untuk dibangun ke arah persatuan dengan Kristus.
Meskipun jelas bahwa
tidak ada kewajiban kanonik maupun moral bagi para perempuan untuk mengenakan
tutup kepala (Mantilla) di gereja, para perempuan tetap bebas untuk
menggunakannya sebagai ungkapan devosi pribadi. Mereka harus melihatnya sebagai
tanda ketaatan / tunduk kepada Tuhan. Mereka yang mengenakan Mantilla dan
mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi
membiarkan setiap perempuan untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak
menjadi kewajiban. Memakai Mantilla bukanlah suatu hal yang main-main, karena
memakai Mantilla merupakan salah satu bentuk devosi atau sikap bakti kepada
Tuhan yang membutuhkan komitmen.
Berpakaian rapi dan
sopan sesuai keadaan (yakni pada saat berada dalam gereja; saat merayakan
Ekaristi; Adorasi dan perayaan liturgi lainnya) adalah kewajiban moral bagi
semua umat. Dan ini tidak pernah boleh diabaikan. Meskipun kesopanan dalam hal
berpakaian akan dapat berubah dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu.
St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesopanan / kebersahajaan berkaitan dengan
empat hal tingkah laku:
1.
Pergerakan pikiran menuju kesempurnaan,
dan hal ini diatur oleh kerendahan hati.
2.
Keinginan yang sungguh-sungguh untuk
mengatahui benda-benda yang berkaitan dengan pengetahuan, dan tidak hanya asal
ingin tahun saja.
3.
Pergerakan badan dan tingkah laku, yang
dilakukan dengan semestinya dan dengan sejujurnya.
4.
Penampilan luar, misalnya dalam
berpakaian dan sejenisnya.
Cara
berpakaian, tingkah laku dan seterusnya adalah tanda dari seseorang, dan ini
dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang tersebut tinggal. Kristianitas
dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal-hal tertentu, kecuali jika
itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis
kelamin yang lain). Kesopanan / kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah
laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.