Jumat, 16 Juni 2017

MAKNA PENGGUNAAN DUPA/UKUPAN

1.      Simbol dari doa-doa yang naik ke hadapan tahta Allah
      Dalam Kitab Mazmur 141:1-2 dituliskan, “Ya TUHAN, aku berseru kepada-Mu, datanglah segera kepadaku, berilah telinga kepada suaraku, waktu aku berseru kepada-Mu! Biarlah doaku adalah bagi-Mu seperti persembahan ukupan, dan tanganku yang terangkat seperti persembahan korban pada waktu petang”. Dan dalam Kitab Wahyu 8:3-4 dituliskan, “Maka datanglah seorang malaikat lain, dan ia pergi berdiri dekat mezbah dengan sebuah pedupaan emas. Dan kepadanya diberikan banyak kemenyan untuk dipersembahkannya bersama-sama dengan doa semua orang kudus di atas mezbah emas di hadapan takhta itu. Maka naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan malaikat itu ke hadapan Allah.”
2.      Untuk menghormati kehadiran Tuhan
      Dalam Kitab Keluaran 30:34-36, Berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Ambillah wangi-wangian, yakni getah damar, kulit lokan dan getah rasamala, wangi-wangian itu serta kemenyan yang tulen, masing-masing sama banyaknya. Semuanya ini haruslah kaubuat menjadi ukupan, suatu campuran rempah-rempah, seperti buatan seorang tukang campur rempah-rempah, digarami, murni, kudus. Sebagian dari ukupan itu haruslah kaugiling sampai halus, dan sedikit dari padanya kauletakkanlah di hadapan tabut hukum di dalam Kemah Pertemuan, di mana Aku akan bertemu dengan engkau; haruslah itu maha kudus bagimu.”
      “Tabut” itu sekarang kita sebut dengan tabernakel. Yesus hadir di sana dalam rupa Komuni Kudus. Selain itu kita juga percaya bahwa dalam Perayaan Ekaristi, Yesus bertindak serentak sebagai Imam, Altar dan Kurban. Oleh karena itu, imam, Altar dan Persembahan roti dan anggur juga turut didupai.

3.      Untuk menguduskannya (yang didupai) bagi Tuhan
      Segala sesuatu yang diberkati dan dikuduskan adalah milik Tuhan. Maka tidak heran kalau dalam Perayaan Ekaristi, umat juga didupai. Ini berarti bahwa umat dikuduskan bagi Tuhan. Dan di samping itu kita juga melihat bahwa ada banyak benda-benda rohani yang diberkati dan dikuduskan bagi Tuhan dengan cara mendupainya.


Jadi penggunaan dupa sebenarnya telah berakar sejak lama dalam sejarah umat beriman, dan Gereja Katolik melanjutkan tradisi ini, karena memang mengandung makna yang dalam. Dupa ini melengkapi penyembahan dan ucapan syukur kita kepada Tuhan yang melibatkan seluruh panca indera kita dalam Ekaristi: dengan indra penglihatan kita melihat seluruh ibadah,  dengan indra pendengaran kita mendengar kidung pujian dan doa-doa, dengan indra peraba kita mengambil air suci yang melambangkan rahmat Pembaptisan, dan dengan indra pengecap kita menyantap Hosti kudus, dan dengan indra penciuman kita menikmati wewangian dupa yang melambangkan naiknya doa-doa kita ke hadapan tahta Allah.

Rabu, 31 Mei 2017

NOVENA ROH KUDUS

Umat Katolik mengadakan Novena Roh Kudus selama 9 hari berturut-turut setelah Hari Raya Kenaikan Tuhan sampai pada Hari Sabtu menjelang Pentakosta. Novena Roh Kudus ini merupakan persiapan batin dalam sebuah doa untuk mendapatkan karunia-karunia Roh Kudus yang dijanjikan Tuhan pada hari Pentaskosta. Roh Kudus tetap sama dengan yang kita terima pada saat pembaptisan, tetapi doronganNya bisa lebih menggetarkan dan karunia-karuniaNya dapat terasa baru.
Novena Roh didasarkan pada periode 9 hari yang dilakukan oleh para rasul. Pada peristiwa kenaikan Tuhan Yesus ke surga, Ia memberikan Perutusan Agung kepada para rasul dan meminta mereka untuk menantikan kedatangan Roh Kudus. Sejak saat itu mereka bersama Bunda Maria bertekun sehati dalam doa menunggu tercurahnya Roh Penghibur: “Mereka semua bertekuan dengan sehati dalam doa bersama-sama, dengan beberapa perempuan serta Maria, Ibu Yesus, dan dengan saudara-saudara Yesus” (Kis 1:14).
Tujuan Novena Roh Kudus: mohon kekudusan sehingga membuat Roh Kudus yang telah kita terima dalam Sakramen Baptis lebih diaktifkan dalam Minggu Pentakosta sehingga kita dapat menjadi saksi akan Cinta Allah. Allah telah mencurahkan cintaNya kepada kita sehingga kita mampu mencintai. Dalam Minggu Pentakosta kita mohon Roh Kudus memberi kekuatan dan semangat baru untuk menjadi Saksi Cinta Kristus dalam segala tindakan, perkataan, dan pekerjaan. Karunia Roh Kudus yang terutama dalam Pentaskosta: kemampuan untuk mencintai dengan hati yang tulus. Karunia Roh Kudus yang lainnya seperti penyembuhan dan berbahasa lidah merupakan karunia-karunia yang mendukung karunia cinta. Doa dalam Pentakosta: “Datanglah Roh Maha Kudus, Penuhi Hati umatMu, Siramilah hati yang beku … untuk bisa selalu mencintaiMu”.
Tema-tema yang dapat kita hidupi selama 9 hari Novena Roh Kudus:
Hari I       : Mohon Roh Kudus menjaga kehidupan baru yang kita terima dalam pembaptisan
Hari II      : Mohon anugerah karunia Roh Kudus
Hari III    : Mohon Penyertaan Tuhan Yesus
Hari IV    : Mohon kepatuhan kepada Kehendak Tuhan
Hari V      : Mohon menjadi Kenisah Kemuliaan Tuhan
Hari VI    : Mohon dapat mengabdi kepada Allah dengan penuh kerelaan dan cinta
Hari VII   : Mohon dapat menjadi Milik Allah yang pantas
Hari VIII : Mohon Semakin Bertambah dalam Iman dan Cinta Bakti
Hari IX    : Mohon Dapat Mewujudkan Kehidupan Baru secara Nyata dalam Kehidupan sehari- hari.


5 DOA FATIMA

Pada tanggal 13 Mei 2017 yang lalu, Gereja Katolik memperingati 100 tahun penampakan Bunda Maria kepada 3 gembala cilik di Fatima, Portugal. Dalam penampakannya di tahun 1917, Bunda Maria menyampaikan banyak sekali pesan dari Tuhan sambil mengajak kita semua untuk bertobat dan berbuat silih bagi dunia. Salah satu warisan terbesarnya adalah 5 Doa Fatima yang diberikan selama penampakan berlangsung.
1.      Doa Fatima
“Ya Yesus yang baik, ampunilah dosa-dosa kami. Selamatkanlah kami dari api neraka dan hantarkanlah jiwa-jiwa ke dalam surga, terutama mereka yang sangat membutuhkan kerahimanMu. Amin.”  Doa ini diberikan Bunda Maria sendiri kepada para gembala cilik. Dalam pesannya, Bunda Maria meminta mereka mendoakan doa ini setiap selesai mendaraskan 10 kali Salam Maria dan Kemuliaan.
2.      Doa Mohon Pengampunan
“Ya Allahku, aku percaya, aku menyembah, aku berharap, dan aku mengasihiMu! Aku mohonkan ampun bagi mereka yang tidak percaya, tidak menyembah, tidak menyerahkan diri, dan tidak mengasihiMu.” Doa ini diberikan Malaikat kepada para gembala cilik di tahun 1916, tepat setahun sebelum Bunda Maria menampakkan diri.
3.      Doa Malaikat
“Oh Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putera, Roh Kudus, aku menyembahMu dengan khusyuk dan mempersembahkan kepadaMu, Tubuh, Darah, Jiwa dan Keilahian Yesus Kristus, yang sungguh hadir di semua tabernakel di muka bumi, demi penebusan atas semua kekejaman, pencemaran, dan sikap masa bodoh yang melukai DiriNya. Melalui jasa-jasa tak terhingga dari HatiNya Yang Mahakudus dan Hati Ibu Maria yang tak berdosa, aku memohonkan pertobatan bagi semua orang berdosa yang malang.”  Doa ini juga diberikan Malaikat kepada para gembala cilik. Pada penampakan terakhir di musim gugur 1916, Malaikat memegang sebuah piala. Ke dalam Piala ini meneteslah Darah dari sebuah Hosti yang tergantung di atasnya. Malaikat memberi ketiga anak itu Hosti sebagai Komuni Pertama mereka dari piala itu.
4.      Doa Ekaristi
“Tritunggal Mahakudus, aku menyembahMu! Ya Tuhanku, ya Tuhanku, aku mengasihiMu dalam Sakramen Mahakudus.” Ketika Bunda Maria menampakkan diri kepada mereka untuk pertama kalinya pada 13 Mei 1917, ia berkata, “Kalian akan mengalami banyak sekali penderitaan, tapi hanya dalam rahmat Tuhanlah kalian akan menemukan ketenangan”. Berdasarkan kesaksian Lucia, salah seorang dari gembala cilik, sebuah cahaya yang amat terang datang dan menyinari mereka semua, dan tanpa berpikir panjang, mereka langsung  mendaraskan doa ini.
5.      Doa Silih / Pengorbanan Diri

“Ya Yesus, aku mempersembahkan semua ini demi cintaku kepadaMu dan bagi pertobatan orang-orang berdosa serta bagi pemulihan atas segala penghinaan yang diderita Hati Maria yang Tak Bernoda.” Bunda Maria memberikan doa ini kepada para gembala cilik pada tanggal 13 Juli 1917, bersamaan dengan Doa Fatima. Doa ini didaraskan ketika kita mau mempersembahkan seluruh penderitaan kita kepada kepada Tuhan.

Rabu, 26 April 2017

MANTILLA

Agnes Evanty Manurung, seorang umat Paroki Kristus Raja Medan, sudah sejak kecil senang menudungi kepalanya dengan kain biasa karena ingin seperti Bunda Maria yang begitu anggun dengan tudung di kepalanya. Ketika masih kelas 6 SD, ia menemukan teks Kitab Suci yang mengatakan, “Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?” (1Kor 11: 13). Niat untuk menudungi kepala pun semakin kuat, akan tetapi belum berani menggunakannya ketika pergi ke gereja. Ia hanya berani menggunakan tudung kepala dengan sembunyi-bunyi ketika berdoa pribadi dan Angelus di dalam kamar. Hingga pada suatu saat, ketika berdoa di depan tabernakel, ia merasa kepalanya ditudungi. Ia pun mulai mencari-cari informasi tentang tudung kepala dan ternyata ia menemukan nama “Mantilla” yang sudah ada sejak lama dalam tradisi Gereja Katolik. Ia pun mencari Mantilla tapi tidak ditemukan di Indonesia. Hanya ada di USA. Di tengah pencarian yang panjang, ia mengetahui lewat Facebook bahwa ada yang menjual Mantilla. Ia pun segera membeli, memiliki dan mulai menggunakannya ke gereja.  
Caroline Francesca Farianne, juga seorang umat Paroki Kristus Raja Medan, yang sudah sejak kecil dididik untuk berpakaian sopan ketika pergi ke gereja. Baginya, Mantilla itu cantik dan indah dan karena itu, sejak Juli 2016 yang lalu ia mulai menggunakan Mantilla. Ia sangat merasakan manfaatnya yakni menjadi rajin merayakan Ekaristi, bahkan setiap hari merayakan Ekaristi. Setiap kali menggunakan Mantilla, ia merasa lebih khusuk dan hikmat dalam berdoa dan berekaristi. Di samping itu, ia juga merasa menjadi santun dalam berpakaian dan membuat dirinya menjadi pribadi yang tidak hanya mengurusi kecantikan, melainkan mengutamakan kesederhanaan, ketekunan dan kerendahan hati.
Agnes Evanty Manurung dan Caroline Francesca Farianne adalah dua orang perempuan yang berpenampilan ganjil ketika ikut merayakan Ekaristi. Mereka menggunakan Mantilla, sementara yang lain tidak. “Apakah mereka mau gaya-gaya saja? Apakah mereka seorang biarawati? Apakah yang mereka gunakan adalah jilbab? Apakah mereka mau tampil sok saleh?” Kedua orang ini menginspirasi saya untuk mendalami, memahami dan menuliskan sesuatu tentang Mantilla ini.
Mantilla adalah tudung atau kerudung yang biasa dipakai oleh perempuan Katolik untuk  menutupi kepala ketika mengikuti Perayaan Ekaristi, Adorasi, atau perayaan liturgi lainnya. Mantilla biasa terbuat dari bahan lace, sejenis brokat atau kain berenda. Akan tetapi, kadang-kadang umat hanya menggunakan syal atau scarf, bandana besar, atau kain biasa untuk menutupi kepalanya.
Tradisi menggunakan Mantilla bagi seorang perempuan ketika Perayaan Ekaristi, Adorasi dan atau perayaan liturgi lainnya sudah berlangsung sejak lama. Dasar biblis yang sering digunakan sebagai dasar tradisi tersebut diambil dari surat-surat Paulus.
1.      “…. Demikian juga hendaknya perempuan. Hendaklah ia berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal, tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah ….” (1Tim 2:8-15).
2.      “…Tiap-tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. … Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena para malaikat. …  Pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung? …” (1Kor 11:2-16).
1Tim 2:8-15 berbicara mengenai nasihat terhadap kelompok keluarga, terutama para suami dan istri. Nasihat seperti ini merupakan hal yang lazim dalam ajaran moral Kristen (lih. Ef 5:21-33). Para suami hendaknya menadahkan tangannya yang suci untuk berdoa. Bagitu juga, para istri dinasihati supaya muncul dalam pertemuan-pertemuan bukannya dengan mengenakan kemewahan dan pakaian yang indah melainkan mengenakan “pekerjaan-pekerjaan baik” (lih. 1Ptr 3:1-6).
1Kor 11:2-16 berbicara tentang pakaian liturgis. Surat ini dilatarbelakangi oleh munculnya pertikaian di antara umat di Korintus tentang pakaian dalam upacara liturgi. Rasul Paulus mengkritik pertengkaran itu dengan nasihat yang mendasarkan pada budaya setempat, yaitu kebiasaan menggunakan tudung bagi perempuan. Ia mengajarkan bahwa dalam hal berdoa, dalam upacara liturgi, hendaknya berpakaian sesuai dengan budaya yang baik, yang berlaku pada masa itu, di mana perempuan hendaknya menggunakan tudung kepala sebagai tanda ketaatan kepada Sang Kepala yakni Kristus. Budaya pemakaian tudung bagi perempuan pada masa itu juga merupakan simbol ketaatan kepada suami atau dan ayah, sebagai kepala keluarga. “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3).
Berdasarkan surat Paulus tersebut, pemakaian Mantilla pernah diwajibkan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1917. Pada Kan. 1262, § 2, dikatakan bahwa pria dalam ibadah tidak perlu memakai tutup kepala, kecuali keadaan-keadaan khusus yang menentukan sebaliknya; dan perempuan harus mengenakan tutup kepala dan berpakaian sopan, terutama ketika mereka mendekati altar Tuhan. Namun, dalam semangat pembaharuan, Gereja tidak lagi mewajibkan pemakaian Mantilla dan juga tidak melarangnya, sehingga masih ada beberapa umat di beberapa tempat, seperti di kawasan Amerika Latin, Eropa dan Asia yang masih mempertahankan tradisi pemakaian Mantilla.
Pasca Konsili Vatikan II, Magisterium Gereja Katolik, melalui pernyataan CDF (Kongregasi Ajaran Iman) yang berjudul Inter Insigniores, tertanggal 15 Oktober 1976, menyatakan bahwa tradisi pemakaian kerudung bagi perempuan dalam upacara liturgi tidak lagi menjadi ketentuan normatif. Dokumen tersebut menyatakan demikian, “Another objection is based upon the transitory character that one claims to see today in some of the prescriptions of Saint Paul concerning women, and upon the difficulties that some aspects of his teaching raise in this regard. But it must be noted that these ordinances, probably inspired by the customs of the period, concern scarcely more than disciplinary practices of minor importance, such as the obligation imposed upon women to wear a veil on their head (1 Cor 11:2-16); such requirements no longer have a normative value….”
Kitab Hukum Kanonik (KHK) 1983 pun tidak lagi menyatakan kembali isi Kan. 1262, § 2, KHK 1917. Oleh karena itu kanon tersebut tidak berlaku lagi. Kan. 6, § 1, KHK 1983 menyatakan bahwa “Dengan berlakunya Kitab Hukum ini dihapuslah seluruhnya Kitab Hukum Kanonik yang diundangkan pada tahun 1917”.
Pertanyaan yang tentu muncul dalam benak kita adalah “Mengapa tradisi ini tidak lagi dilaksanakan?” Ada beberapa alasan yang bisa diketengahkan:
1.      Maksud Paulus
      Benar bahwa Paulus mengatakan bahwa, “Hendaklah ia (perempuan) berdandan dengan pantas, dengan sopan dan sederhana, rambutnya jangan berkepang-kepang, jangan memakai emas atau mutiara ataupun pakaian yang mahal-mahal” (1Tim 2:9), akan tetapi Paulus juga tidak menekankan dengan eksplisit bahwa perempuan harus berpakaian ini atau itu. Paulus justru melanjutkan dengan perkataan, “Tetapi hendaklah ia berdandan dengan perbuatan baik, seperti yang layak bagi perempuan yang beribadah” (1Tim 2:10). Paulus menekankan perbuatan-perbuatan atau pekerjaan-pekerjaan baik yang layak bagi perempuan. Demikian juga halnya dengan Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus, 1Kor 11:2-16, Paulus justru menekankan budaya setempat. Artinya, pakaian liturgi umat (perempuan) disesuaikan dengan budaya setempat.
2.      Hilangnya Makna Tanda
      Mantilla adalah sebuah tanda. Dan tanda pasti memiliki makna. Ketika orang-orang tidak lagi mengerti makna sebuah tanda, maka tanda tersebut pasti tidak akan digunakan lagi. Umat Katolik masa kini tidak lagi mengerti akan arti atau makna penggunaan Mantilla.      
3.      Konflik Arti
      Kata-kata Paulus, “Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari perempuan ialah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” (1Kor 11:3) sering disalahartikan sebagai ketundukan semena-mena sang istri kepada suaminya, atau bahkan semua wanita kepada semua pria. Muncul kesan yang salah yakni bahwa martabat laki-laki lebih tinggi dari pada martabat perempuan. Pada hal, saat mengatakan hal tersebut, Rasul Paulus tidak bermaksud merendahkan martabat perempuan, sebab para perempuan mempunyai persamaan hak dengan kaum laki-laki dan sama-sama dipanggil untuk hidup kudus. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan dipanggil untuk taat kepada Kristus, Sang Kepala, dan melalui Kristus kepada Allah. Dasar ini ditegaskan kembali pada 1Kor 11: 11-12, “Namun demikian, dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah”. Ini sesuai dengan yang diajarkannya juga dalam Gal 3:28. Jadi yang disampaikannya di sini adalah adanya urutan / struktur kebersamaan yang mengarahkan semua orang untuk dibangun ke arah persatuan dengan Kristus.
Meskipun jelas bahwa tidak ada kewajiban kanonik maupun moral bagi para perempuan untuk mengenakan tutup kepala (Mantilla) di gereja, para perempuan tetap bebas untuk menggunakannya sebagai ungkapan devosi pribadi. Mereka harus melihatnya sebagai tanda ketaatan / tunduk kepada Tuhan. Mereka yang mengenakan Mantilla dan mereka yang tidak mengenakannya, tidak perlu menghakimi satu sama lain, tetapi membiarkan setiap perempuan untuk memutuskannya karena jelas hal ini tidak menjadi kewajiban. Memakai Mantilla bukanlah suatu hal yang main-main, karena memakai Mantilla merupakan salah satu bentuk devosi atau sikap bakti kepada Tuhan yang membutuhkan komitmen.
Berpakaian rapi dan sopan sesuai keadaan (yakni pada saat berada dalam gereja; saat merayakan Ekaristi; Adorasi dan perayaan liturgi lainnya) adalah kewajiban moral bagi semua umat. Dan ini tidak pernah boleh diabaikan. Meskipun kesopanan dalam hal berpakaian akan dapat berubah dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kesopanan / kebersahajaan berkaitan dengan empat hal tingkah laku:
1.      Pergerakan pikiran menuju kesempurnaan, dan hal ini diatur oleh kerendahan hati.
2.      Keinginan yang sungguh-sungguh untuk mengatahui benda-benda yang berkaitan dengan pengetahuan, dan tidak hanya asal ingin tahun saja.
3.      Pergerakan badan dan tingkah laku, yang dilakukan dengan semestinya dan dengan sejujurnya.
4.      Penampilan luar, misalnya dalam berpakaian dan sejenisnya.

Cara berpakaian, tingkah laku dan seterusnya adalah tanda dari seseorang, dan ini dipengaruhi oleh konteks budaya di mana orang tersebut tinggal. Kristianitas dapat menyesuaikan diri terhadap budaya dalam hal-hal tertentu, kecuali jika itu melibatkan dosa (cara berpakaian yang mengakibatkan godaan bagi jenis kelamin yang lain). Kesopanan / kesederhanaan dalam berpakaian dan bertingkah laku merupakan tanda luar yang menunjukkan sikap batin.

Kamis, 06 April 2017

PEKAN SUCI: PERINGATAN SENGSARA, WAFAT dan KEBANGKITAN TUHAN

Minggu Palma
Disebut Minggu Palma karena pada hari ini Gereja menyediakan daun palma untuk diberkati dan digunakan oleh umat. Hanya ada satu Injil yang dengan jelas menyebutkan penggunaan daun palma ini yakni Injil Yohanes. Dalam Yohanes 12:13 dituliskan, “Mereka (orang banyak) mengambil daun-daun palem, dan pergi menyongsong Dia sambil berseru: Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel!” Jadi nama Hari Minggu Palma dan tradisi upacara pemberkatan serta perarakan dengan daun palma sebenarnya berdasarkan cerita Injil dari Injil Yohanes ini. Arti daun palma itu menjadi jelas dari konteks ceritanya, yaitu peristiwa Yesus dielu-elukan, disoraki, disalami sebagai raja, yang datang dalam nama Tuhan untuk membawa damai. Maka daun palma yang dilambai-lambaikan merupakan tanda pujian dan kemuliaan, kemenangan dan damai.
Kamis Putih
Kamis Putih adalah hari pertama dari Tri Hari Suci Paskah. Pada hari ini kita merayakan kembali perjamuan Malam Terakhir yang dilakukan Yesus bersama 12 Rasul. Disebut sebagai perjamuan terakhir, karena pada malam itu Yesus mengadakan perjamuan yang terakhir bersama dengan murid-muridNya. Yesus menunjukkan kasihNya hingga rela kehilangan nyawa bagi umat manusia. Pada malam itu Yesus menyerahkan tubuh dan darahNya pada Bapa di Surga dalam wujud roti dan anggur yang diberikan kepada para rasul.
Jumat Agung
Suasana yang sunyi, nyanyian tanpa musik, altar yang kosong, tabernakel terbuka lebar, lampu merah yang menandakan kehadiran Tuhan dipadamkan, lampu gereja yang mati. Jumat Agung adalah hari kita memperingati wafat Kristus. Pada hari itu seluruh umat Katolik diharapkan melakukan tindakan pantang dan puasa. Satu hal penting yang perlu kita ketahui adalah seluruh perayaan yang kita lakukan pada Jumat Agung adalah ibadat dan bukan Perayaan Ekaristi. Pada hari Jumat Agung tidak ada peristiwa konsekrasi atau Doa Syukur Agung yang biasa dilakukan Imam. Komuni yang dibagikan pada Ibadat Jumat Agung adalah hosti yang dikonsekrasikan pada malam sebelumnya (Kamis Putih). Dan Sakramen yang boleh diberikan pada Hari Jumat Agung hanyalah Sakramen Tobat dan Perminyakan.
Sabtu Suci/Sunyi
Pada Hari Sabtu pagi sampai menjelang malam, Gereja tidak melakukan kegiatan peribadatan apapun. Tabernakel masih terbuka dan lampu tabernakel juga masih mati. Selain itu, tempat air suci di pintu-pintu masuk gereja juga dikeringkan. Suasana terasa muram. Sakramen yang boleh dibagikan pada hari itu pun hanya Sakramen Tobat dan Perminyakan. Gereja memang tidak melakukan kegiatan peribadatan apa pun selama Sabtu suci, karena Gereja masih mengenangkan Yesus yang berada di dalam makam. Sepanjang pagi sampai sore di hari Sabtu itu, Gereja mengajak umat untuk hening dan merenungkan sengsara dan wafat Tuhan di kayu salib, memberitahu umat bahwa Yesus sedang turun ke dunia orang mati; dan menanti dengan penuh kerinduan kebangkitan Yesus dengan berdoa dan berpuasa.
Malam Paskah

Berbeda dengan suasana Sabtu Suci/Sunyi yang hening dan begitu muram. Malam Paskah adalah saat di mana kita merasakan sukacita besar sambil berjaga-jaga menantikan kebangkitan Tuhan. Yesus yang wafat akhirnya beralih dari alam kematian menuju kebangkitan. Pada perjanjian lama, Malam Paskah merupakan peristiwa penantian lewatnya Tuhan di Tanah Mesir untuk membebaskan Bangsa Israel dari perbudakan Firaun. Saat Malam Paskah ini juga umat Katolik akan memperbaharui kembali Sakramen Baptis yang telah diterima. Malam Paskah dapat juga disebut dengan vigili Paskah. Vigili berasal dari kata vigilis yang artinya berjaga-jaga atau bersiap-siap. Pada perayaan Malam Paskah ini kita berjaga-jaga bersama Yesus. Bersiap-siap menantikan kebangkitan Yesus dari kematian menuju kehidupan yang baru. Tata cara perayaan Paskah dijalankan oleh Gereja Katolik didasarkan pada dekrit Ad Vigiliam Paschalem (tentang vigili Paskah) yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII pada tahun 1951.

Sabtu, 25 Februari 2017

Berpuasa dan berpantang menurut Gereja Katolik

Bagaimanakah berpuasa yang benar menurut ajaran Gereja Katolik, kapan dan bagaimana puasa itu dilakukan? Pertama-tama perlu kita ketahui dulu alasan mengapa kita berpuasa dan berpantang. Bagi kita orang Katolik, puasa dan pantang artinya adalah tanda pertobatan, tanda penyangkalan diri, dan tanda kita mempersatukan sedikit pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib sebagai silih dosa kita dan demi mendoakan keselamatan dunia. Jadi puasa dan pantang bagi kita tak pernah terlepas dari doa. Dalam masa prapaska, maka puasa, pantang dan doa disertai juga dengan perbuatan amal kasih bersama-sama dengan anggota Gereja yang lain. Dengan demikian, pantang dan puasa bagi kita orang Katolik merupakan latihan rohani yang mendekatkan diri pada Tuhan dan sesama, dan bukan untuk hal lain, seperti diit/ supaya kurus, menghemat, dll. Dengan mendekatkan dan menyatukan diri dengan Tuhan, maka kehendak-Nya menjadi kehendak kita. Dan karena kehendak Tuhan yang terutama adalah keselamatan dunia, maka melalui puasa dan pantang, kita diundang Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan dunia, dengan cara yang paling sederhana, yaitu berdoa dan menyatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Kita pun dapat mulai mendoakan keselamatan dunia dengan mulai mendoakan bagi keselamatan orang-orang yang terdekat dengan kita: orang tua, suami/ istri, anak-anak, saudara, teman, dan juga kepada para imam, pemimpin Gereja, pemimpin negara, dst.
Berikut ini mari kita lihat ketentuan tobat dengan puasa dan pantang, menurut Kitab Hukum Gereja Katolik:
  • Kan. 1249 – Semua orang beriman kristiani wajib menurut cara masing-masing melakukan tobat demi hukum ilahi; tetapi agar mereka semua bersatu dalam suatu pelaksanaan tobat bersama, ditentukan hari-hari tobat, dimana umat beriman kristiani secara khusus meluangkan waktu untuk doa, menjalankan karya kesalehan dan amal-kasih, menyangkal diri sendiri dengan melaksanakan kewajiban-kewajibannya secara lebih setia dan terutama dengan berpuasa dan berpantang, menurut norma kanon-kanon berikut.
  • Kan. 1250 – Hari dan waktu tobat dalam seluruh Gereja ialah setiap hari Jumat sepanjang tahun, dan juga masa prapaskah.
  • Kan. 1251 – Pantang makan daging atau makanan lain menurut ketentuan Konferensi para Uskup hendaknya dilakukan setiap hari Jumat sepanjang tahun, kecuali hari Jumat itu kebetulan jatuh pada salah satu hari yang terhitung hari raya; sedangkan pantang dan puasa hendaknya dilakukan pada hari Rabu Abu dan pada hari Jumat Agung, memperingati Sengsara dan Wafat Tuhan Kita Yesus Kristus.
  • Kan. 1252 – Peraturan pantang mengikat mereka yang telah berumur genap empat belas tahun; sedangkan peraturan puasa mengikat semua yang berusia dewasa sampai awal tahun ke enampuluh; namun para gembala jiwa dan orangtua hendaknya berusaha agar juga mereka, yang karena usianya masih kurang tidak terikat wajib puasa dan pantang, dibina ke arah cita-rasa tobat yang sejati.
  • Kan. 1253 – Konferensi para Uskup dapat menentukan dengan lebih rincipelaksanaan puasa dan pantang; dan juga dapat mengganti-kan seluruhnya atau sebagian wajib puasa dan pantang itu dengan bentuk-bentuk tobat lain, terutama dengan karya amal-kasih serta latihan-latihan rohani.
Memang sesuai dari yang kita ketahui, ketentuan dari Konferensi para Uskup di Indonesia menetapkan selanjutnya :
  • Hari Puasa dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Hari Pantang dilangsungkan pada hari Rabu Abu dan tujuh Jumat selama Masa Prapaska sampai dengan Jumat Agung.
  • Yang wajib berpuasa ialah semua orang Katolik yang berusia 18 tahun sampai awal tahun ke-60. Yang wajib berpantang ialah semua orang Katolik yang berusia genap 14 tahun ke atas.
  • Puasa (dalam arti yuridis) berarti makan kenyang hanya sekali sehariPantang(dalam arti yuridis) berarti memilih pantang daging, atau ikan atau garam, atau jajan atau rokok. Bila dikehendaki masih bisa menambah sendiri puasa dan pantang secara pribadi, tanpa dibebani dengan dosa bila melanggarnya.
Maka penerapannya adalah:
  1. Kita berpantang setiap hari Jumat sepanjang tahun (contoh: pantang daging, pantang rokok dll) kecuali jika hari Jumat itu jatuh pada hari raya, seperti dalam oktaf masa Natal dan oktaf masa Paskah. Penetapan pantang setiap Jumat ini adalah karena Gereja menentukan hari Jumat sepanjang tahun (kecuali yang jatuh di hari raya) adalah hari tobat. Namun, jika kita mau melakukan yang lebih, silakan berpantang setiap hari selama Masa Prapaska.
  2. Jika kita berpantang, pilihlah makanan/ minuman yang paling kita sukai. Pantang daging adalah contohnya, atau yang lebih sukar mungkin pantang garam. Tapi ini bisa juga berarti pantang minum kopi bagi orang yang suka sekali kopi, dan pantang sambal bagi mereka yang sangat suka sambal, pantang rokok bagi mereka yang merokok, pantang jajan bagi mereka yang suka jajan. Jadi jika kita pada dasarnya tidak suka jajan, jangan memilih pantang jajan, sebab itu tidak ada artinya.
  3. Pantang tidak terbatas hanya makanan, namun pantang makanan dapat dianggap sebagai hal yang paling mendasar dan dapat dilakukan oleh semua orang. Namun jika satu dan lain hal tidak dapat dilakukan, terdapat pilihan lain, seperti pantang kebiasaan yang paling mengikat, seperti pantang nonton TV, pantang ’shopping’, pantang ke bioskop, pantang ‘gossip’, pantang main ‘game’ dll. Jika memungkinkan tentu kita dapat melakukan gabungan antara pantang makanan/ minuman dan pantang kebiasaan ini.
  4. Puasa minimal dalam setahun adalah Hari Rabu Abu dan Jumat Agung, namun bagi yang dapat melakukan lebih, silakan juga berpuasa dalam ketujuh hari Jumat dalam masa Prapaska (atau bahkan setiap hari dalam masa Prapaska).
  5. Waktu berpuasa, kita makan kenyang satu kali, dapat dipilih sendiri pagi, siang atau malam. Harap dibedakan makan kenyang dengan makan sekenyang-kenyangnya.Karena maksud berpantang juga adalah untuk melatih pengendalian diri, maka jika kita berbuka puasa/ pada saat makan kenyang, kita juga tetap makan seperti biasa, tidak berlebihan. Juga makan kenyang satu kali sehari bukan berarti kita boleh makan snack/ cemilan berkali-kali sehari. Ingatlah tolok ukurnya adalah pengendalian diri dan keinginan untuk turut merasakan sedikit penderitaan Yesus, dan mempersatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib demi keselamatan dunia.
  6. Maka pada saat kita berpuasa, kita dapat mendoakan untuk pertobatan seseorang, atau mohon pengampunan atas dosa kita. Doa-doa seperti inilah yang sebaiknya mendahului puasa, kita ucapkan di tengah-tengah kita berpuasa, terutama saat kita merasa haus/ lapar, dan doa ini pula yang menutup puasa kita/ sesaat sebelum kita makan. Di sela-sela kesibukan sehari-hari kita dapat mengucapkan doa sederhana, “Ampunilah aku, ya Tuhan. Aku mengasihi-Mu, Tuhan Yesus. Mohon selamatkanlah …..” (sebutkan nama orang yang kita kasihi)
  7. Karena yang ditetapkan di sini adalah syarat minimalmaka kita sendiri boleh menambahkannya sesuai dengan kekuatan kita. Jadi boleh saja kita berpuasa dari pagi sampai siang, atau sampai sore, atau bagi yang memang dapat melakukannya, sampai satu hari penuh. Juga tidak menjadi masalah, puasa sama sekali tidak makan dan minum atau minum sedikit air. Diperlukan kebijaksanaan sendiri (prudence) untuk memutuskan hal ini, yaitu seberapa banyak kita mau menyatakan kasih kita kepada Yesus dengan berpuasa, dan seberapa jauh itu memungkinkan dengan kondisi tubuh kita. Walaupun tentu, jika kita terlalu banyak ‘excuse’ ya berarti kita perlu mempertanyakan kembali, sejauh mana kita mengasihi Yesus dan mau sedikit berkorban demi mendoakan keselamatan dunia.
Demikian ulasan mengenai pantang dan puasa menurut ketentuan Gereja Katolik. Semoga bermanfaat.

Rabu, 22 Februari 2017

MASA PRAPASKAH

Tema utama Masa Prapaskah adalah persiapan Paskah, atau lebih tepat persiapan inisiasi katekumen ke dalam persekutuan penuh dengan jemaat. Menurut kebiasaan yang sudah cukup lama, masa ini berlangsung selama 40 hari. Selama masa ini seluruh jemaat berjalan seiring dengan para calon yang akan diinisiasikan, dan dengan mereka yang kembali ke pangkuan iman atau bertobat. Kalau pun tidak ada katekumen yang disiapkan untuk pembaptisan, Masa Prapaskah tetap merupakan masa penyegaran pembaptisan: mendengarkan Injil dengan rajin dan tekun, mengalami mati dan bangkit, yang merupakan inti pembaptisan.

Prapaskah adalah masa yang amat penting. Masa Prapaskah dibuka dengan pemberkatan abu yang kemudian dioleskan pada dahi umat. Abu merupakan gambaran masa suram, akhir segala sesuatu, tetapi juga awal segala sesuatu. Pada Hari Rabu Abu, seluruh umat Katolik, baik pemimpin maupun umat, ditandai dengan abu. Abu ini mengundang kita untuk merefleksikan kehidupan kita yang sangat sibuk, untuk mawas diri. Liturgi pada Hari Rabu Abu ditandai dengan pemberkatan abu. Pemberkatan ini ditopang dengan bacaan Alkitab, dan juga dengan mazmur serta nyanyian lain pada hari ini.

Bacaan-bacaan Hari Minggu Prapaskah, khususnya Tahun A, berkaitan erat satu sama lain. Bahkan bacaan Injil hari-hari Minggu Prapaskah dapat dipadukan dan menjadi “Injil Prapaskah”, suatu kisah yang secara utuh disajikan oleh Masa Prapaskah. Semua itu berbicara tentang kita, semua itu merupakan kisah aktual kita, baik sebagai pribadi maupun sebagai umat. Bacaan-bacaan Injil dapat menjadi titik awal dalam mencari bentuk liturgi selama pekan-pekan Prapaskah. Apa suasana khas masa Prapaskah? Bagaimana dinamikanya? Semua itu dibangun oleh banyak unsur yang mewarnai Prapaskah: bacaan, renungan, puasa, hiasan, tata warna, tata gerak, dan lain-lain. Semua itu ikut memberikan andil dan dorongan dalam melaksanakan Praspaskah, baik dalam kehidupan pribadi maupun umat.


Liturgi Hari Minggu selama Masa Prapaskah menuntut konsistensi dalam nyanyian, tata warna dan dinamika yang merangkai keenam pekan menjadi masa yang terpadu. Semua ini membuat Masa Prapaskah sungguh khas. Hal ini nyata dalam cara Prapaskah dilaksanakan: Prapaskah berbeda dengan Masa Biasa dan masa-masa yang lain, bukan hanya dalam syair nyanyian, tetapi juga dalam saat hening, ketenangan, pemilihan perlengkapan untuk perarakan, dalam pajang dan meriahnya acara tobat. Suasana prapaskah juga tampak dalam penggunaan ulangan khusus untuk Mazmur Tanggapan, dalam aklamasi Injil, dalam rumus pemberkatan, dalam cara pengutusan; dalam tata warna dan tata hias ruang ibadat; dalam upaya-upaya khusus untuk menyajikan kutipan Alkitab dalam bentuk dramatisasi. Kalau semua ini dipadukan dan seluruh umat terlibat di dalamnya, maka Prapaskah sungguh akan menjadi pengalaman yang unik.

Senin, 20 Februari 2017

HAL BERSIKAP RENDAH HATI

Ingin akan pengetahuan adalah kodrat manusia, tetapi apakah gunanya pengetahuan jika tidak takut pada Allah? Seorang petani yang rendah hati dan mengabdi kepada Tuhan, sungguh lebih baik daripada seorang ahli filsafat yang congkak, yang menyelidiki ilmu perbintangan, tetapi tidak memedulikan keadaan jiwanya. Barang siapa mengenal diri sendiri dengan baik, akan merasa hina dan tidak merasa gembira atas pujian orang. Andaikata saya mengetahui segala-galanya, tetapi jika saya tidak memiliki cinta kasih, apakah gunanya semua itu bagi saya terhadap Allah yang akan mengadili saya?

Hendaklah kita membuang segala keinginan akan pengetahuan yang melampaui batas, karena hal itu hanya akan menimbulkan banyak kebingungan dan kekecewaan saja. Mereka yang banyak pengetahuannya biasanya suka menjadi orang terkenal dan disebut orang pandai. Banyak pengetahuan yang hanya sedikit, bahkan sama sekali tidak bermanfaat bagi jiwa. Sungguh tidak bijaksana orang yang mengejar segala apa saja, kecuali yang berguna bagi keselamatan jiwanya. Banyak berbicara tentang ilmu tidak memuaskan jiwa, tetapi hidup saleh akan menenangkan hati dan dan hati yang murni akan menjadikan hubungan kita dengan Allah lebih erat dan mesra.

Semakin luas dan dalam pengetahuan kita semakin keras kita akan diadili, jika hidup kita tidak menjadi semakin saleh seimbang dengan pengetahuan kita itu. Oleh karena itu, janganlah kita membanggakan diri atas kecakapan ataupun pengetahuan kita, tetapi lebih baik kita takut akan tanggung jawab atas pengetahuan yang diberikan kepada kita. Bila kita menyangka bahwa kita tahu akan banyak hal dan merasa paham tetang soal-soal itu, ingatlah bahwa masih banyak hal lain yang tidak kita ketahui. "Janganlah mempunyai anggapan tinggi tentang dirimu sendiri" (bdk. Rm 11:20), melainkan akuilah bahwa sesungguhnya pengetahuan kita kurang. Mengapa kita menganggap diri kita lebih tinggi daripada orang lain, sedangkan masih banyak orang lain yang lebih pandai dalam bidang kaidah-kaidah agama daripada kita? Apabila kita ingin mengetahui dan mempelajari apa yang berguna bagi kita, sebaiknya kita suka tetap tinggal tidak terkenal dan tidak diindahkan siapa-siapa.

Anjuran yang baik dan paling berguna ialah: sungguh-sungguh mengenal diri sendiri dan memandang diri sendiri sebagai orang hina. Tidak memandang tinggi diri sendiri dan senantiasa beranggapan bahwa orang lain itu baik hati dan ramah, itu merupakan sifat tabiat yang sangat bijaksana dan sempurna. Biarpun kita melihat orang lain berbuat dosa bahkan melakukan kejahatan yang besar janganlah sekali-kali menganggap diri kita lebih baik daripada orang lain. Sebab kita sendiri tidak tahu berapa lama kita masih akan tetap kuat dalam keadaan baik. Kita lemah, tetapi kita tidak boleh menganggap bahwa orang lain lebih lemah daripada kita.

Rabu, 15 Februari 2017

KUDUSLAH KAMU!!!

Saudara-saudari terkasih, benang merah dari 3 bacaan yang kita dengar hari ini (Minggu Biasa VII, 19 Feb. 2017) ialah Penggilan untuk Hidup Kudus. “Tuhan berfirman kepada Musa, ‘Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel, dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, Tuhan, Allahmu, kudus.” Ini dituliskan dalam bacaan pertama. Dan dalam bacaan kedua dituliskan, “Saudara-saudara, camkanlah sungguh-sungguh, bahwa kamu adalah Bait Allah, dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu. Jika ada orang yang membinasakan Bait Allah, maka Allah akan membinasakan dia. Sebab Bait Allah adalah kudus, dan kamulah Bait Allah itu.”

Kudus berarti suci, bersih, murni, sakral, bebas dari dosa dan tidak najis. Sesuatu disebut kudus dan suci karena dikhususkan atau diperuntukkan bagi Tuhan. Tuhan adalah dasar kesucian.

Konsili Vatikan II, melalui Konstitusi Dogmatis tentang Gereja (LG, No. 40), menyatakan bahwa semua kaum beriman kristiani dipanggil untuk hidup suci. Pernyataan konsili itu ditegaskan kembali dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), Kan. 210 yang menyatakan, “Semua orang beriman kristiani, sesuai dengan kedudukan khasnya, harus mengarahkan tenaganya untuk menjalani hidup yang kudus dan memajukan perkembangan Gereja serta pengudusannya yang berkesinambungan.”

Hidup kudus dan suci ialah hidup menuju kesempurnaan cinta kasih. Hidup suci tampak pada buah-buah rahmat yang dihasilkannya berkat naungan Roh Kudus, yakni kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan dan penguasaan diri (bdk. Gal 5:22-23a), yang menjadi nyata dalam kehidupan sehari-hari.


Beberapa hal praktis untuk dilakukan disampaikan kepada kita lewat bacaan-bacaan hari ini untuk mengejar kekudusan dan kesucian yakni “Jangan membenci saudaramu, jangan mendatangkan dosa, jangan menuntut balas, jangan menaruh dendam, jangan memegahkan diri atas manusia, jangan melawan orang yang berbuat jahat kepadamu dan kasihilah musuh-musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di surga. Karena itu haruslah kamu sempurna, sebagaimana Bapamu yang di surga sempurna adanya.”

Hal Mengikuti Jejak Kristus dan Mengabaikan Segala Kesia-siaan Dunia

Tuhan bersabda: "Barangsiapa mengikuti Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan" (bdk. Yoh 8:12). Inilah sabda Kristus untuk menasihati kita supaya meniru hidup ketekunanNya, bila kita sungguh-sungguh ingin mendapat terang dan ingin dibebaskan dari segala kebutaan hati. Karena itu hendaklah kita mengutamakan dan mencurahkanperhatian kita untuk merenungkan kehidupan Yesus Kristus.

Ajaran Kristus jauh melebihi semua ajaran orang-orang kudus; dan barangsiapa mempunyai semangat yang sejati, akan mendapat makna yang tersembunyi di dalamnya. Tetapi sering terjadi, bahwa banyak orang, meskipun telah berkali-kali mendengar Injil, rasa rindu mereka kepada Injil hanya kecil sekali, sebab mereka tidak memiliki semangat Kristus. Akan tetapi barangsiapa ingin memahami sedalam-dalamnya dan menikmati sepenuhnya kata-kata Kristus, hendaklah ia berusaha menyesuaikan hidupnya dengan hidup Kristus.

Apakah faedahnya mengadakan perdebatan secara mendalam tentang Allah Tritunggal Mahakudus, apabila kita tidak rendah hati, sehingga Tritunggal tidak berkenan akan kita? Bahwasanya: bukan kata yang muluk-muluk yang membuat orang menjadi suci dan adil, melainkan hidup yang bertakwalah yang mebuat orang berkenan kepada Tuhan. Lebih baik hati kita merasa remuk redam daripada mengerti segala seluk-beluknya. seandainya kita hafal seluruh Kitab Suci dan ucapan-ucapan para ahli filsafat semuanya, apakah gunanya semua itu, apabila kita tidak memiliki cinta kasih Allah dan rahmatNya? "Kesia-siaan, sungguh kesia-siaan dan segalanya adalah sia-sia belaka" (bdk. Pkh 1:2), kecuali cinta kasih akan Allah dan mengabdi hanya kepadaNya. inilah hikmat yang tertinggi: dengan menolak dunia menuju kepada kerajaan surga.

Maka kesia-siaanlah mencari kekayaan yang fana dan menaruh pengharapan padanya. kesia-siaan pula mengejar kehormatan dan membanggakan diri. Kesia-siaanlah, menuruti keinginan daging dan harus menginginkan segala sesuatu yang akhirnya harus mengakibatkan hukuman berat bagi kita. Kesia-siaanlah, mengharapkan umur panjang, tetapi hanya sedikit mengindahkan hidup baik. Kesia-siaanlah mencitai segala yang lewat dengan cepat dan tiada mengejar kebahagiaan yang kekal.

Hendaklah kita senantiasa ingat akan perkataan ini: "mata tidak pernah kenyang melihat, telinga tidak pernah puas mendengar" (bdk. Pkh 1:8). Maka, hendaklah kita berusaha mengelakkan hati kita dari cinta akan yang kelihatan dan mengarahkannya kepada apa yang tidak tampak. Karena barangsiapa menuruti kenikmatan nafsu rasa, akan menodai hatinya dan kehilangan rahmat Allah.

Jumat, 03 Februari 2017

SANTO LOUIS MARTIN DAN SANTA MARIE-AZẼLIE GUẼRIN PASUTRI KUDUS YANG MELAHIRKAN ORANG KUDUS

Louis Joseph Aloys Stanislaus Martin lahir pada tanggal 22 Agustus 1823 di Bordeaux, Gironde—Perancis. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Pierre-François Martin dan Marie-Anne-Fanie Boureau.
Marie-Azélie Guérin dilahirkan di Gandelain, dekat St. Denis-sur-Sarthon, Orne, Perancis, pada tanggal 23 Desember 1831. Zélie adalah putri kedua dari pasangan Isidore Guérin dan Louise-Jeanne Macé.
Louis dan Zélie bertemu pertama kali di Jembatan St. Leonard pada bulan April 1858. Jembatan ini sering dilalui oleh Zélie. Suatu hari Zélie melintasi jembatan tersebut dan berpapasan dengan Louis. Zélie sangat terkesan dengan penampilan Louis, seorang pemuda yang mencerminkan sikap dan martabat seorang bangsawan. Lalu, Zélie mendengar suara di dalam hatinya, “Inilah dia yang Kusediakan bagimu.” Louis dan Zélie akhirnya berkenalan dan dengan cepat mereka dapat saling mencintai dan menghargai satu dengan yang lainnya.

KEHIDUPAN PERKAWINAN LOUIS DAN ZÉLIE
Tiga bulan setelah pertemuan pertama mereka, Louis dan Zélie memutuskan untuk menikah. Pada tanggal 12 Juli 1858, jam 10 malam, Louis dan Zélie menikah di catatan sipil. Dua jam kemudian pada tengah malam tanggal 13 Juli 1858, mereka mengucapkan janji setia pernikahan di Gereja Notre-Dame di hadapan Pastor Hurel, pastor paroki St. Leonard.
Kehidupan perkawinan yang mereka jalani berbeda dengan kehidupan perkawinan pada umumnya. Karena Louis dan Zélie dulu pernah berkeinginan untuk menjalani kehidupan membiara, maka mereka sepakat untuk tetap mempertahankan kemurnian mereka bagi Tuhan. Selama sepuluh bulan mereka menjalani kehidupan perkawinan yang seperti ini. Kemudian, karena bapa pengakuan mereka menyarankan mereka memerhatikan panggilan mereka sebagai orang tua, maka Louis dan Zélie mengubah pandangan mereka. Mereka pun hidup layaknya pasangan suami istri pada umumnya dan memutuskan untuk memiliki anak. Perkawinan mereka dikaruniai sembilan orang anak, walaupun hanya lima anak yang dapat bertahan hidup dan kelimanya menjadi suster.
Supaya lebih dekat dengan anaknya, Louis memberikan “julukan” kepada masing-masing anaknya. Marie adalah permatanya, Pauline adalah mutiaranya, Céline adalah si pemberani dan malaikat pelindung, sedangkan Thérèse adalah ratu kecilnya.

KEMATIAN ZÉLIE MARTIN
Tahun 1865, Zélie divonis dokter terkena kanker payudara. Sejak saat itu Zélie merasa bahwa hidupnya di dunia tidak lama lagi. Ia berdoa, “Jika Tuhan ingin menyembuhkan saya, saya akan sangat bahagia, karena jauh di lubuk hati, saya ingin hidup. Rasa sakit saya adalah meninggalkan suami dan anak-anak saya. Namun, jika saya tidak sembuh, itu mungkin karena saya akan lebih berguna jika saya pergi.”
Pada malam tanggal 26 Agustus 1877 Louis pergi ke Gereja Bunda Maria untuk meminta pastor memberikan Sakramen Perminyakan Orang Sakit dan Komuni Kudus kepada Zélie. Tanggal 28 Agustus 1877, pukul setengah dua belas tengah malam, Zélie meninggal dunia.       Setelah kematian Zélie, Pauline, Marie, Theresia, dan Céline menjadi biarawati Karmelit satu demi satu bersama dengan sepupunya, Marie Guérin. Sedangkan, Leonie menjadi Suster Visitasi setelah sebelumnya mencoba kehidupan religius di Biara St. Klara.

KESEHATAN LOUIS MEMBURUK
Setelah Thérèse masuk Biara Karmel, pada tahun 1888 Louis jatuh sakit. Ia terpaksa dirawat di Bon Sauveur, Caen. Tanggal 10 Januari 1889, Louis menghadiri prosesi pemakaian jubah biara Thérèse. Tak lama setelah acara tersebut, Louis terkena penyakit stroke diikuti dengan arteriosklerosis otak yang menyebabkan ia kehilangan ingatan, kemampuan berbicara, dan halusinasi. Atas saran dari saudara iparnya, Isidore Guérin, Léonie dan Céline memutuskan untuk merawat ayahnya di Bon Sauveur, Caen pada tanggal 12 Februari 1889. Di rumah sakit tersebut, Louis menghabiskan banyak waktunya di kapel dan menerima Komuni Kudus setiap hari ketika dia merasa cukup sehat. Louis berbagi segala sesuatu yang diberikan kepadanya dengan pasien lain dan ia tidak pernah mengeluh meskipun ia merasa menderita karena dipisahkan dari keluarganya.

KEMATIAN LOUIS MARTIN
Pada bulan Mei 1894, Céline pergi ke Caen. Saat ia berada di sana, pamannya mengirimkan telegram yang mengatakan bahwa tanggal 27 Mei Louis terkena stroke serius yang menyebabkan lengan kirinya lumpuh. Mendengar kabar ini, Céline segera pulang. Saat itu Louis menerima Sakramen Perminyakan Orang Sakit. Bulan Juni Louis terkena serangan jantung yang serius. Sementara itu Céline masih berada di Katedral untuk mengikuti Misa. Pamannya segera memanggilnya dan ia berlari sepanjang perjalanan pulang karena takut kalau dia tidak bisa tiba pada waktunya. Louis tampak benar-benar kelelahan dan memiliki kesulitan besar dengan pernapasannya.
Tanggal 28 Juli Louis terkena serangan jantung kembali dan kembali ia menerima Sakramen Perminyakan Orang Sakit. Sejak saat itu Céline selalu menemani ayahnya dan ia berdoa kepada Yesus, Maria, dan Yusuf agar ayahnya dapat meninggal dunia dengan bahagia. Ketika Céline selesai berdoa, Louis memandangnya dengan penuh cinta dan rasa syukur. Lalu, Louis memejamkan matanya. Isidore dan Céline Guérin datang ke kamar Louis dan Isidore menekan bibir Louis beberapa kali dengan salib yang dibawanya. Saat itu napasnya telah menjadi sangat lemah. Pada hari Minggu 29 Juli 1894, Louis meninggal dunia.

TELADAN HIDUP LOUIS DAN ZÉLIE MARTIN
Louis dan Zélie adalah teladan kekudusan bagi keluarga-keluarga Kristiani. Di rumah, mereka selalu berusaha menciptakan suasana penuh iman dan sukacita. Mereka selalu berusaha agar anak-anak mereka menyadari bahwa mereka sangat dicintai dan melatih mereka melakukan kebajikan-kebajikan. Selain itu, ada beberapa kebiasaan yang dilakukan bersama-sama dalam keluarga Martin ini, antara lain:
·     Tiap pagi hari pukul 05.30 merayakan Ekaristi.
·     Mendoakan Ibadat Harian setiap hari di hadapan patung Bunda Maria.
·     Selalu hadir dalam Misa mingguan dan benar-benar mengkhususkan hari Minggu sebagai hari Tuhan.
·     Pada saat makan bersama, selalu dibacakan bacaan rohani.
·     Melakukan ziarah rohani ke tempat-tempat suci di Perancis.
·     Louis biasa melakukan retret pribadi di Biara Trapis, sedangkan Zélie di Biara St. Klara.
Louis dan Zélie tidak dapat mengendalikan situasi apa yang akan mereka hadapi. Mereka tidak dapat menghindar dari berbagai tragedi dalam hidup, seperti perang Franco-Prussian di mana mereka harus menerima sembilan orang tentara Jerman di dalam rumah mereka; kematian keempat anaknya; penyakit yang mereka derita. Mereka juga tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab sebagai pemilik bisnis, suami istri, orang tua, dan pemerhati orang yang miskin dan menderita. Sumber kekuatan mereka terletak dari cara mereka menerima segala sesuatu yang terjadi dalam hidup mereka. Mereka menerima ketidakberdayaan mereka dan percaya bahwa hanya Tuhan yang berkuasa atas seluruh kehidupan mereka.
Gereja menggelari pasangan Louis dan Zélie Martin sebagai pasangan kudus untuk menunjukkan bahwa panggilan kepada kekudusan adalah panggilan untuk semua orang Kristiani. Mereka adalah pahlawan-pahlawan dalam kehidupan sehari-hari. Almarhum Paus Yohanes Paulus II mengatakan: “Ke-heroik-an harus menjadi keseharian, dan keseharian harus menjadi sesuatu yang heroik.”
Pasangan Louis dan Zélie Martin dinyatakan "terhormat" pada tanggal 26 Maret 1994 oleh Paus Yohanes Paulus II. Kemudian, Paus Benediktus XVI membeatifikasi pasangan ini pada Hari Misi Sedunia tanggal 19 Oktober 2008 di Basilika St. Theresia di Lisieux, Perancis oleh Kardinal Jose Saraiva Martins. Pada tanggal 18 Oktober 2015, mereka digelarkan menjadi santo dan santa oleh Paus Fransiskus. Gereja memperingati pasangan Louis dan Zélie Martin setiap tanggal 12 Juli. Mereka menjadi pasangan suami istri pertama dalam sejarah Gereja yang digelarkan kudus sebagai sebuah pasangan dan dijadikan menjadi Pelindung Keluarga.